Sabtu, 17 Maret 2012

Telaah Kritis Metode Kodifikasi Ushul Fiqih Hanafi


Pembukaan
Bagaimana proses kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi? Seperti apakah contohnya? Apa saja akibat yang ditimbulkan oleh metode ini? Jika dibandingkan dengan metode ushul fiqh Syafi’iah (Jumhur), metode manakah yang lebih kuat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan ide pokok dari penulisan kajian ini. Untuk menjawabnya, perlu kajian mendalam terhadap buku-buku ushul fiqh Hanafi secara langsung. Karena keterbatasan waktu dan keahlian, akhirnya penulis hanya bisa mencapai informasi yang minim. Dimohon kepada diskusan untuk ikut memperkaya informasi untuk menjawab pertanyaan di atas.

Tinjauan Historis Kodifikasi Ushul Fiqh Hanafi
Secara global, buku-buku ushul yang pernah saya baca memberikan informasi bahwa ushul fiqh Hanafi disusun dengan metode induktif, artinya ushul mereka ditulis dengan bertumpu pada furu’ yang telah ditulis oleh para imam mereka (mis. Abu Hanifah (80-150 H), Muhammad bin Hasan(131-189 H), dan Abu Yusuf (113-182 H)). Kemudian ulama generasi berikutnya menyimpulkan suatu kaidah yang bisa dijadikan acuan para mujtahid generasi setelah mereka.


Setelaah melihat beberapa contoh kitab ushul milik ulama Hanafi, seperti ushul Al-Kurkhi (260-340 H) & Al-Baidlowi (w. 685 H), saya dapat menyimpulkan bahwa informasi di atas adalah benar. Karena memang mereka mengambil kesimpulan kaidah ushuliyyah dari contoh-contoh hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf & Muhammad bin Hasan.

Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ulama Hanafiah dalam menyusun kaidah ushuliyyah terbagi menjadi dua golongan;

1.                       Golongan yang memiliki dua keahlian sekaligus (ilmu fiqh dan ushul fiqh). Tulisan mereka sangat compatabel dan akurat. Mereka mampu menjabarkan kaidah ushuliyyah dengan hujjah yang kuat tanpa harus keluara dari madzhab. Contohnya adalah Kitabul Jadal karya Imam Maturidi (w. 333 H).
2.                       Golongan yang lebih cenderung ke dalam ilmu fiqh disebabkan ilmu ushul mereka yang kurang mumpuni. Karya-karya mereka lebih cenderung ke ilmu furu’. Bahkan tidak sedikit yang mendahulukan pernyataan-pernyataan kaidah ushul dari madzhab lain1.

Dari keterangan di atas, Dr. Jalaluddin Abdurrahman berkesimpulan bahwa pada mulanya ulama Hanafiah memiliki cara penulisan kaidah ushul tersendiri, bukan seperti cara ushul yang masyhur dinisbatkan pada mereka saat ini. Akan tetapi, karena cara yang kedua lebih banyak diikuti oleh ulama mereka, akhirnya mereka lebih dikenal dengan ulama ushul 'ala Fuqaha2.

Ciri-ciri Ushul Fiqh Hanafi
Kaidah ushul fiqh mereka didasarkan pada masalah furu’iyyah.
Penyebabnya adalah karena Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan kitab yang berisi kaidah ushuliyyah yang dapat dijadikan acuan. Tidak heran jika para ulama generaasi berikutnya terpaksa harus mengambil kaidah ushul dari masalah furu’iyyah yang sudah ada dengan cara mengambil kesimpulan atas beberapa contoh masalah yang sama. Untuk lebih jelas, akan saya berikan contoh pada poin berikutnya.

Karya-karya ushul mereka dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan fiqh.
Terkadang mereka terpaksa membuat kaidah khusus demi mendukung satu permasalahan  fiqh.
Misalnya, mereka telah membuat satu kaidah. Kemudian ada salah satu contoh masalah yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah tersebut -karena Sang Imam menentukan hukum masalah ini tidak sama dengan masalah-masalah lain yang sejenisnya-, maka mereka membuat kaidah khusus untuk mendukung masalah ini.

Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Dalam kesempatan ini, saya akan menuliskan satu contoh saja;
“Lafadz yang bersifat umum ('aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul 'aam) secaara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum, hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth'i dan tidak dapat dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth'i.” Kaidah ini menjadikan dilalah lafadh umum setara dengan dilalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus (naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi."

Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa'il furu’iyyah yang mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:

Pendapat Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B, maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cicin, dibagi dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama, karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam), namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.

Andai saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majlis tanpa ada jeda antara dua wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, kaarena lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.

Pendapat Muhammad bin Hasan dalam bab Mudharabah. Jika 'Amil dan Rabbul maal berselisih tentang lafadz umum dan khusus, maka yang dimenangkan adalah pihak yang mengatakan lafadz umum. Hal ini menunjukkan kedudukkan lafadh umum sejajar dengan lafadh khusus.

Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40 dzira’." Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur Nadhih, yang mengaatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dzira’.

Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil panen yang kurang dari lima ausaq.”

Madzhab Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.

Contoh di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam Assarkhosy (w. 439 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum menyebutkan furu’-furu’ , beliau menegaskan; فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى3 .
 Jika anda masih ingin melihat contoh yang  lain, silahkan baca referensi terlampir.

Pengaruh Metode Ini dalam Menghasilkan Kaidah Ushul
Kaidah ushul yang dibuat dengan mengunakan metode seperti ini sangat baik jika digunakan untuk mendukung madzhab sendiri. Karena semua kaidah disesuaikan dengan furu’. Bahkan, jika ada beberapa furu’ yang keluar dari kaidah, maka mereka akan membuat kaidah tersendiri untuk mendukung furu’ tersebut, seperti yang saya terangkan di atas.

Contohnya, kaidah dalam contoh yang saya sebutkan di atas menyatakan; bahwa lafadz umum mencakup setiap unit yang ada di bawahnya secara qoth’i. Jadi, jika ada lafadh umum dalam dalil qoth'i, kita tidak boleh mengecualikan satu unit pun dengan menggunakan dalil dhanni (seperti qiyas dan hadits ahad).

Ketika dalam furu’ mereka terdapat contoh lafadz umum yang dikecualikan dengan menggunakan hadits yang dla'if, mereka membuat satu kaidah khusus agar permasalahan ini bisa dipertanggungjawabkan dalam perdebatan ushuli.

Kaidah itu adalah; "Lafadz umum dari dalil qoth'i dapat di-takhshis dengan dalil dhanni (hadits ahad & qiyas), jika lafadz tersebut sudah pernah di-takhsis sebelumnya."
 Contoh : Ayat : الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Menunjukkan bahwa semua orang yang berzina, baik di dalam Negara Islam ataupun di luar Negara Islam, harus dicambuk seratus kali. Ulama Hanafi mengatakan bahwa pezina di luar Negara Islam tidak wajib dicambuk. Dalilnya adalah hadits : لا تقاموا الحدود في دار الحرب
Padahal semuanya tahu, hadits tersebut dla'if. Jawaban mereka adalah; Bahwa ayat tersebut sebelumnya sudah pernah di-takhshis, maka ia boleh di-takhshis dengan hadits ahad yang dla'if.

Takhshis yang mereka maksud adalah dlamir منهما yang kembali pada الزانية والزاني menunjukkan bahwa jika zinanya bukan laki-laki dan perempuan, maka tidak wajib dicambuk4.
Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah mereka bersifat fleksibel terhadap furu’-nya. Sedangkan kita tahu bahwa seharusnya kaidah adalah acuan untuk menentukan hukum furu’. Furu’-lah yang tunduk pada kaidah, bukan sebaliknya! Dan inilah salah satu kelemahan metode penulisan ushul ala thoriqoh fuqoha..!

Kelemahan ini pula yang sering digunakan para ulama yang berbeda paham dengan mereka untuk melemahkan hujjah mereka, karena banyak furu’ yang tidak sesuai dengan kaidah ushul mereka.
Akan tetapi, mereka bukan ulama kelas teri yang tidak dapat menjawab setiap persoalan yang datang. Mereka selalu memiliki seribu alasan untuk menjawab semua pertanyaan.

Perbandingan antara Ushul Fiqh Jumhur dan Ushul Fiqh Hanafiyah
Setelah membaca sekilas pemaparan tentang ushul fiqh Hanafiah, kesimpulan saya adalah bahwa ushul Jumhur lebih kuat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Karena beberapa alasan berikut:
Ushul Fiqh Jumhur memiliki acuan yang paten dari satu sumber yang memungkinkan keseragaman seluruh kaidah, tanpa harus membuat-buat kaidah baru demi mendukung madzhab. Bahkan, tidak sedikit ketetapan madzhab dirubah karena tidak sesuai dengan kaidah ushul.

Sedangkan ushul Hanafiah membuat kaidah demi menguatkan ketentuan madzhab.
Karya-karya ushul fiqh Jumhur murni pendekatan kaidah ushul fiqh, sehingga hasilnya merupakan sebuah kaidah yang menjadi barometer dalam mengambil hukum furu’. Sedangkan karya-karya ushul fiqh Hanafiah penuh dengan perdebatan fiqh, dan jauh dari perdebatan ushul. Hal ini menjadikan hasil kaidah ushul mereka kurang luas dan terlalu sempit pada beberapa contoh kasus furu’ saja.

Ilmu manthiq sebagai pendukung ilmu ushul fiqh Jumhur tidak banyak digunakan oleh ushul fiqh Hanafi. Hal ini menyebabkan ushul fiqh Hanafi kurang rasional, meskipun kadar irasionalnya sangat rendah. Terlepas dari itu semua, ada beberapa kesamaan ushul fiqh Jumhur dan Hanafi dalam karya-karya mereka yang menjadikan kita tidak boleh mengesampingkan ushul fiqh Hanafi. 

Di samping itu, ada beberapa ulama yang telah mencoba mempertemukan kedua perguruan ini. Diantaranya adalah Jam’ul Jawami’, At-Tahrir & At-Tanqih. Bahkan dari kajian yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara dua perguruan ushul tersebut.

Penutup
Dari keterangan diatas, penulis menawarkan dua pertanyaan untuk bisa didiskusikan :
Apakah kesimpulan sementara penulis tentang kebenaran informasi sekilas metode kodifikasi ala thoriqotul fuqoha dapat diterima? Jika ya, bagaimana dengan kesimpulan Dr. Jalaluddin tentang adanya kodifikasi ushul fiqh Hanafi dengan thoriqoh ushuliyyin?

Apakah kesimpulan sementara penulis tentang keunggulan ushul fiqh Jumhur dapat diterima? Jika tidak, jelaskan argumen Anda dengan jelas! Jika ya, mohon bisa memberikan argumen tambahan untuk menguatkan argumen yang sudah ada. Jika dua pertanyaan di atas dianggap terlalu sempit, maka diskusan berhak mengajukan pertanyaan lain untuk didiskusikan.

Demikianlah sedikit kajian yang dapat saya tulis. Saya yakin kajian ini banyak memiliki kekurangan. Dengan sangat rendah hati, saya berharap kepada para diskusan untuk mengkritisi kajian ini dengan tanpa mengabaikan etika ilmiah.
Jika diskusan berkenan membuat kajian tandingan, maka tentu akan lebih menarik!

Catatan Kaki;
1. Muhammad bin Ahmad Assamarqondi, Mizanul Ushul. Lihat di Kasyfudh-Dhunun (1/81). Maktabah Syamilah.
2. Ghoyatul Wushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman.
3. Ushul Al-Sarkhosi (1/132), Maktabah Syamilah.
4. Atsarul Ikhtilaf, Mustofa Khin, hal 227-228.

Sumber / Lampiran
1. Ghoyatul Wushul Ila Daqoiqil Ilmil Ushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman
2. Atsarul Adillah Al-Mukhtalaf Fiha, Dr. Musthofa Bugho, Maktabah Dar Ilm Bairut Lebanon
3. Atsarul Ikhtilah Fi Al-Qowaid Al-Ushuliah fi Al-Furu' Al-Fiqhiah, Dr. Musthofa Khin
4. Ushulul Sarkhosi, Mahmud Bin Ahmad As-Sarkhosi.
5. Kasyful Asror Syarah Ushulul Bazdawi, Abdul Aziz Bin Ahmad Al-Bukhori.
6. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Dr. Hasan Hito.
7. At-Talwih Ala Taudhih, Sa’duddin At-Taftazani.
8. Al-Fushul Fil Ushul, Abu Bakr Al-Jashos.
9. Kasyfu Al-Dzunun, Haji Kholifah.
10. Tathowwur Al-Fikr Al-Ushuli Al-Hanafi, Dr. Haitsam Khuznah. (belum ditemukan)
11. Al-A'lam, az-Zarkaly..


1 komentar:

  1. assalamualaikum......jazakumulloh......mumtaz jayyid........bagaimana caranya membuat blogspot? reply ke 085645477925

    BalasHapus